BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Manusia
mempunyai kebutuhan yang beragam seiring dengan peningkatan kesejahteraanya.
Beberapa kebutuhan manusia antara lain, kebutuhan primer dan kebutuhan
sekunder. Salah satu dari sekian banyak kebutuhan tesebut adalah kebutuhan
pangan atau makanan.
Kebutuhan
akan pangan merupakan kebutuhan primer atau pokok bagi setiap lapisan
masyarakat disamping kebutuhan sandang/pakaian dan papan/perumahan. Makanan
mempunyai peranan yang sangat luas bagi kehidupan, karena kehidupan manusia
tidak dapat melepaskan diri dari kebutuhan akan makanan. Manusia dapat hidup
karena mendapat asupan gizi dari makanan yang dikonsumsinya.
Hal itulah yang memacu para pengusaha yang bergerak
dalam bidang produksi dan pengolahan bahan makanan untuk memproduksi makanan
bagi masyarakat (konsumen) dalam jumlah yang besar. Pada era globalisasi dan
modern seperti saat ini banyak industri makanan dan minuman tumbuh dan
berkembang. Salah satu industri yang bergerak dalam bidang makanan dan minuman
adalah Home Industry. Home Industry makanan dan minuman merupakan salah
satu industri yang sangat potensial dan memiliki prospek yang baik untuk
ditumbuh kembangkan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya Home Industry yang
tersebar secara luas di seluruh pelosok tanah air meski dalam jenis
dan skala usaha yang berbeda-beda.
Berbagai inovasi diciptakan
dengan membuat berbagai bentuk kreasi hasil Home Industry salah satunya
yang paling marak adalah usaha di sektor makanan dan minuman. Antara lain:
membuat donat, coklat, roti unyil, minuman kemasan dari lidah buaya, rumput
laut, dan sebagainya. Dari semula iseng-iseng, ternyata produk Home Industry
ini malah sudah mulai mendapat tanggapan pasar yang cukup baik.
Faktor yang mendukung tumbuh
kembangnya Home Industry adalah industri tersebut hampir 100%
menggunakan bahan baku yang tersedia didalam negeri, dipasarkan dalam negeri,
dikonsumsi oleh masyarakat secara luas dan memberikan konstribusi bagi
pengembangan ekonomi masyarakat kecil dan menengah.
Dalam upaya menumbuhkembangkan
industri tersebut, maka pemerintah melalui berbagai instansi terkait melakukan
berbagai upaya pembinaan, baik yang bersifat teknis produksi, manajemen
pemasaran maupun melalui peraturan yang ada untuk menjamin tersedianya pangan
bagi masyarakat.
Berbagai peraturan yang berkaitan dengan pangan, tidak
terlepas dari perlindungan konsumen, agar dapat mengonsumsi makanan dengan
aman. Pangan yang aman, bermutu, dan bergizi sangat penting peranannya bagi
pertumbuhan, pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan serta peningkatan
kecerdasan masyarakat. Pemerintah sangat mendukung adanya masyarakat yang
berswadaya dengan landasan Home Industry, Namun sebelum seorang pelaku
usaha memulai Home Industry hendaknya terlebih dahulu mengetahui secara
global peraturan yang mengatur Home Industry.
Berdasarkan UU RI No 7 Tahun 1996
tentang Pangan mengatur bahwa tujuan pengaturan, pembinaan dan pengawasan
pangan adalah untuk tersedianya pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu
dan gizi bagi kepentingan kesehatan manusia. Mengingat hal tersebut diatas maka
SP-IRT(Sertifikat Produksi Industri Rumah Tangga) dan izin Dinas Kesehatan
sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas Industri Rumah Tangga pangan,
meletakkan Industri Rumah Tangga pangan dalam posisi strategis dan sehat.
Bertolak dari luas dan
kompleksnya hubungan antara produsen dan konsumen, serta banyaknya mata rantai
penghubung keduanya, maka untuk melindungi konsumen sebagai pemakai akhir dari
produk barang dan/atau jasa membutuhkan berbagai aspek hukum agar benar-benar
dapat dilindungi dengan adil. Dalam hal ini peranan Negara sangat dibutuhkan
dalam melakukan pembinaan dan pengawasan guna melindungi kepentingan konsumen
pada umumnya.
Pemerintah membuat peraturan
perundang-undangan yang mengatur kepentingan konsumen yaitu Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen selanjutnya disingkat dengan
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, diundangkan pada tanggal 20 april
1999 dan dinyatakan berlaku mulai tanggal 20 april 2000 satu tahun setelah
undang-undang tersebut dikeluarkan. Dengan berlakunya Undang-Undang
Perlindungan Konsumen tersebut, maka ketentuan dalam perundang-undangan
sebelumnya masih dapat berlaku sejauh belum diatur yang baru menurut
undang-undang tersebut atau jika tidak bertentangan dengan undang-undang
tersebut.
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini dapat dijadikan payung (umbrella
act) bagi perundang-undangan lain yang bertujuan untuk melindungi konsumen,
baik yang sudah ada maupun yang masih akan dibuat nanti. [1]
Dalam
Undang-Undang Perlindungan Konsumen diatur tentang Perbuatan yang Dilarang bagi
Pelaku Usaha yakni.“Pelaku Usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan
barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Menurut
Nurmadjito larangan yang dimaksudkan untuk mengupayakan agar setiap barang
dan/atau jasa yang beredar di masyarakat merupakan produk yang layak edar,
antara lain asal usul, kualitas sesuai dengan informasi pengusaha baik melalui
label,etiket, iklan, dan lain sebagainya.[2]
Adanya
undang-undang yang mengatur perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk
mematikan usaha para pelaku usaha.Undang-Undang Perlindungan Konsumen
justru bisa mendorong iklim usaha yang sehat serta mendorong lahirnya
perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan yang ada dengan menyediakan
barang/jasa yang berkualitas. Dalam penjelasan umum Undang-Undang Perlindungan
Konsumen disebutkan bahwa dalam pelaksanaannya akan tetap memerhatikan hak dan
kepentingan pelaku usaha kecil dan menengah. [3]
Namun, kenyataannya yang terjadi
di pasaran masih banyak terdapat pelanggaran terhadap ketentuan yang terdapat
di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut. Untuk mendapatkan
keuntungan yang sebesar-besarnya, seringkali pelaku usaha mengenyampingkan
hak-hak konsumen serta larangan yang telah diatur dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen.
Akhir-akhir ini, masyarakat
sering dikejutkan dengan adanya pemberitaan di berbagai media massa bahwa banyak produk, terutama makanan
yang sering dikonsumsi sehari-hari mengandung bahan-bahan yang berbahaya bagi
kesehatan, seperti adanya kandungan formalin atau bahan pengawet makanan
lainnya. Keamanan pangan di Indonesia
masih jauh dari keadaan aman, yang dapat dilihat dari peristiwa keracunan
makanan yang banyak terjadi belakangan ini.
Dalam kondisi
demikian, konsumen pada umumnya belum mempunyai kesadaran tentang keamanan
makanan yang mereka konsumsi, sehingga belum banyak konsumen yang menuntut
produsen makanan tersebut. Hal ini pula yang
menyebabkan produsen makanan semakin mengabaikan keselamatan konsumen demi
memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya.[4]
Sebagai konsumen tentunya masyarakat akan sangat dirugikan dengan kondisi
produk yang tidak sesuai dengan standar kesehatan, apalagi membawa dampak yang
buruk dalam kehidupan masyarakat.
Realitas di atas menunjukkan
bahwa masalah perlindungan konsumen adalah masalah yang sangat serius. Akan
tetapi, masalah-masalah tersebut baru dipersoalkan ketika ramai dibahas dalam
pemberitaan di berbagai media. Pada saat mulai sepi dari pemberitaan,
masalah-masalah ini seakan luput dari perhatian masyarakat, pemerintah, dan
pihak-pihak yang berhubungan dengan perlindungan konsumen.
Masalah perlindungan konsumen
semakin gencar dibicarakan di berbagai media massa. Permasalahan ini tidak akan pernah
habis dan akan selalu menjadi bahan perbincangan di masyarakat, apabila masih
banyak konsumen yang dirugikan. Oleh karena itu, masalah perlindungan konsumen
perlu mendapat perhatian yang khusus dari pemerintah.
Salah satu masalah yang timbul dalam masyarakat yakni
banyaknya beredar produk Home Industry yang tidak memiliki izin dari
Dinas Kesehatan. Kebanyakan dari pelaku usaha Home Industry menyadari
hal tersebut tetapi karena usaha mereka sudah berjalan maka banyak pelaku usaha
Home Industry “kucing-kucingan” dengan aparat kepolisian dan badan POM.
Sehingga banyak ditemui produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan
keamanan pangan ( Bahan Tambahan Pangan, cemaran mikroba, tanggal kadaluarsa ),
masih banyak kasus keracunan, masih rendahnya pengetahuan, keterampilan dan
tanggungjawab produsen pangan tentang mutu dan keamanan pangan serta rendahnya
kepedulian konsumen itu sendiri. Untuk itu suatu produk Home Industry khususnya
produk pangan harus sesuai dengan standar agar aman dikonsumsi.
Produk
Home Industry yang telah memiliki izin Dinas Kesehatan berarti produk
tersebut telah sesuai standar atau persyaratan, keamanan, mutu, serta manfaat
dari produk tersebut. Sebaliknya, produk Home Industry yang tidak
memiliki izin Dinas Kesehatan baik itu berupa produk makanan maupun minuman
tentu saja belum melewati tahap pemeriksaan oleh pihak yang berwenang
memeriksanya.
Produk Home Industry yang tidak memiliki izin
Dinas Kesehatan jika dikonsumsi oleh konsumen dapat menyebabkan kerugian, baik
kerugian secara materi maupun psikis. Hal ini tentu saja merugikan konsumen
sebagai pihak yang membutuhkan dan mengonsumsi produk Home Industry
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka untuk lebih memfokuskan
penelitian ini rumusan masalah yang akan dibahas oleh penulis adalah:
1.
Bagaimana bentuk pertanggungjawaban produsen yang tidak
memiliki registrasi Dinas Kesehatan ?
2. Bagaimana
pertanggungjawaban pemerintah terhadap konsumen yang mengalami kerugian akibat
mengonsumsi barang yang tidak memiliki izin Dinas Kesehatan?
C.
Tujuan dari rumusan masalah
Tujuan dari
penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut :
1.
Untuk mengetahui bentuk pertanggungjawaban produsen atas
barang dagangannya yang tidak memiliki registrasi Dinas Kesehatan.
2. Untuk
mengetahui bentuk pertanggungjawaban pemerintah terhadap konsumen yang
mengalami kerugian akibat mengonsumsi barang yang tidak memiliki izin Dinas
Kesehatan.
BAB I
PEMBAHASAN
A.
Pertanggungjawaban
Produsen Kepada konsumen
1.
Pertanggungjawaban
Produsen Yang Tidak Memiliki Registrasi Dinas Kesehatan.
Pertanyaan
yang sering muncul ketika membicarakan masalah mengenai industri rumah tangga
adalah siapa yang bertanggung jawab atas kasus banyaknya beredar produk makanan
atau minuman yang tidak memiliki atau memegang izin dari dinas kesehatan
khususnya dinas kesehatan kota
Makassar?. Pada Pasal19 sampai Pasal 28
Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang paling
bertanggung jawab adalah produsen makanan atau minuman industri rumahan (home
industry).
Pemberian jaminan mutu dan keamanan
pangan kepada konsumen sudah merupakan kewajiban para pelaku usaha dalam
menjalankan kegiatan usahanya. Registrasi terhadap suatu produk pangan hasil
olahan Industri Rumah Tangga (Home Industry) merupakan jaminan mutu dan
keamanan pangan terhadap kelayakan suatu produk pangan agar dapat dikonsumsi
oleh konsumen. Registrasi untuk produk pangan hasil olahan Industri Rumah
Tangga (Home Industry) dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan, agar produk
pangan tersebut secara sah dapat beredar di pasaran.
Masalah
makanan dalam hal ini makanan olahan yang beredar di pasaran merupakan masalah
yang harus mendapat perhatian khusus dalam upaya penyelenggaraan kesehatan
secara keseluruhan. Adanya peningkatan produksi secara besar-besaran yang
dilakukan oleh industri makanan, bukan berarti tidak menimbulkan konsekuensi
bagi pemerintah karena produksi yang dihasilkan harus tetap terkendali dan
diawasi dengan seksama, agar produk makanan tersebut mempunyai mutu dan
keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan.
2.
Pertanggungjawaban
Produsen menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Undang-undang
Perlindungan Konsumen memuat aturan-aturan hukum tentang perlindungan kepada
konsumen yang berupa payung bagi perundang-undangan lainnya yang menyangkut
konsumen, sehingga memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen.
Rumusan
pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen cukup memadai.
Kalimat yang terdapat dalam Pasal tersebut menyatakan “segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan
tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk
kepentingan perlindungan konsumen.
Meskipun
undang-undang ini disebut sebagai Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK).
Namun, bukan berarti kepentingan pelaku usaha tidak ikut menjadi perhatian
teristimewa karena keberadaan perekonomian nasional banyak ditentukan oleh para
pelaku usaha. [5]
Menurut Undang-Undang Perlindungan
Konsumen yang dapat dikualifikasikan sebagai konsumen sesungguhnya tidak hanya
terbatas pada subjek hukum yang disebut “orang”, akan tetapi masih ada subjek
hukum lain yang juga sebagai konsumen akhir yaitu “badan hukum” yang
mengonsumsi barang dan/atau jasa serta tidak untuk diperdagangkan.[6]
a. Dasar
Pertanggungjawaban
Berdasarkan
isi Pasal 19 sampai Pasal 28 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen dijelaskan bahwa undang-undang ini tidak jelas
menyebutkan apa yang menjadi dasar pertanggungjawaban pelaku usaha sehubungan
dengan kerugian yang timbul pada konsumen. Pasal 19 ayat (1) mengatakan bahwa:
Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi
atas kerusakan, pencemaran, dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
Memperhatikan
substansi Pasal 19 ayat (1) dapat dilihat bahwa tanggung jawab pelaku usaha,
meliputi:
1.
Tanggung
jawab ganti kerugian atas kerusakan.
2.
Tanggung
jawab ganti kerugian atas pencemaran
3.
Tanggung
jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen
Berdasarkan
hal ini, maka adanya produk barang dan/atau jasa yang cacat bukan merupakan
satu-satunya dasar pertanggungjawaban pelaku usaha. Hal ini berarti bahwa
tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala kerugian yang dialami konsumen.
Pasal 19 ayat (2) menentukan bahwa
pemberian ganti kerugian dapat berupa pengembalian uang dan/atau penggantian
barang dan/atau jasa yang setara nilainya dan/atau perawatan kesehatan dan/atau
pemberian santunan dapat diberikan sekaligus kepada konsumen. [7]
Pada isi
Pasal 19 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen tentang jangka waktu
pemberian ganti rugi, yaitu tujuh hari setelah tanggal transaksi, dapat
disimpulkan bahwa tanggung jawab itu sifatnya mutlak (strict) sebab
Pasal 19 ayat (3) ini tidak menganjurkan supaya persoalan ganti rugi itu
diselesaikan melalui pengadilan yang membutuhkan prosedur persidangan yang
relatif lama. artinya, menurut pembuat undang-undang, jika konsumen menderita
kerugian sebagai akibat dari penggunaan atau pemakaian produk, dapat langsung
menuntut ganti rugi kepada produsennya. Apabila ternyata produsen tersebut
menolak menanggapi atau membayar ganti rugi, barulah kemudian produsen dapat
dituntut ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau ke pengadilan (Janus
Sidabalok, 2010:156).
b. Jenis
dan Besarnya Kerugian yang Dapat Dituntut
Kerugian
yang dapat dituntut dari produsen, menurut Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen terdiri dari:
1.
Kerugian
atas kerusakan
2.
Kerugian
karena pencemaran
3.
Kerugian
konsumen sebagai akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan
Dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen besarnya ganti
kerugian yang dapat dituntut dari pelaku usaha adalah kerugian sebagai akibat
mengonsumsi barang dan/atau jasa. Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan
Konsumen disebutkan bahwa sanksi administratif berupa penetapan ganti kerugian
yang ditetapkan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) paling banyak
Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).[8]
c. Pihak-Pihak
Yang Dapat Dituntut Bertanggung Jawab
Pada
perkembangan masa kini produsen memiliki kewajiban untuk selalu bersikap
hati-hati dalam memproduksi barang dan/atau jasa yang dihasilkannya. Segala
bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha mau tidak mau berimplikasi
pada adanya hak konsumen untuk meminta pertanggungjawaban dari pelaku usaha
yang telah merugikannya. Berdasarkan Pasal 19 ayat (1) pelaku usaha bertanggung
jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, atau kerugian yang
diderita konsumen akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan.[9]
Menurut Nurmadjito, pelaku usaha atau
produsen yang diharuskan bertanggung jawab atas hasil usahanya adalah pelaku
usaha yang melakukan kegiatan-kegiatan berikut:
1)
Menghasilkan
produk akhir, termasuk memproduksi bahan mentah atau komponen.
2)
Mencantumkan
nama, merek, atau tanda lain pada produk dengan tidak menunjukkan pihaknya
sebagai produsen.
3)
Mengimpor
barang ke wilayah Republik Indonesia.
4)
Menyalurkan
barang yang tidak jelas identitas produsennya, baik produk dalam negeri maupun
importirnya yang tidak jelas identitasnya.
5)
Menjual
jasa seperti mengembangkan perumahan atau membangun apartemen
6)
Menjual
jasa dengan menyewakan alat transportasi atau alat berat
a.
Hak
dan Kewajiban Konsumen
Konsumen
dengan pelaku usaha mempunyai hubungan yang saling membutuhkan.Pelaku usaha
dalam memasarkan barang dagangannya pasti membutuhkan konsumen.Dalam hal ini,
seorang konsumen tentu mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi.
Pelaku usaha sering mengabaikan
hak konsumen sehingga konsumen harus memperjuangkan hak-haknya usaha dipenuhi
oleh pelaku usaha. Sementara bagi konsumen, harus dapat menjadi konsumen yang
baik karena ada juga konsumen yang sengaja mau mengabaikan pelaku usaha
walaupun jumlahnya
cenderung sangat kecil bila
dibandingkan dengan pelaku usaha yang tidak memperhatikan hak dari konsumen.
Bagi seorang konsumen, biasanya
yang penting adalah mendapatkan barang yang dia inginkan. Sementara bagi pelaku
usaha, tujuannya adalah untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya sehingga
sering timbul pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha yang akan merugikan
konsumen. Adapun yang menjadi hak dan kewajiban konsumen adalah sebagai
berikut:
1. Hak Konsumen
Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen hak dari konsumen ialah sebagai berikut :
1)
Hak
atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau
jasa.
Barang
dan/atau jasa yang dihasilkan dan dipasarkan oleh pelaku usaha beresiko sangat
tinggi terhadap keamanan konsumen, Konsumen berhak mendapatkan keamanan dari
barang dan jasa yang ditawarkan kepadanya. Produk barang dan/atau jasa itu
tidak boleh membahayakan jika dikonsumsi sehingga konsumen tidak dirugikan baik
secara jasmani dan rohani. Pemerintah selayaknya mengadakan pengawasan secara
ketat. Hal ini dapat memberikan salah satu jaminan keamanan bagi konsumen.
2)
Hak
untuk memilih barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan
kondisi, serta jaminan yang dijanjikan.
Dalam
mengonsumsi suatu produk, konsumen berhak menentukan pilihannya. Ia tidak boleh
mendapatkan tekanan dari pihak luar sehingga ia tidak bebas membeli. Hak untuk
memilih ini erat kaitannya dengan situasi pasar. Jika seseorang atau suatu
golongan diberi hak monopoli untuk memproduksi dan memasarkan barang atau jasa,
maka besar kemungkinan konsumen kehilangan hak untuk memilih produk yang satu
dengan produk yang lain.
Undang–undang
No.5 tahun 1999 tentang Praktik Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat mengartikan monopoli sebagai penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran
barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu
kelompok pelaku usaha. Dampak dari praktik monopoli ini adalah adanya praktik
persaingan tidak sehat (unfair competition) yang merugikan kepentingan
konsumen.
Jika monopoli itu diberikan kepada perusahaan yang
tidak berorentasi pada kepentingan konsumen, akhirnya konsumen didikte, suka
maupun tidak suka untuk mengkonsumsi barang atau jasa itu tanpa ada pilihan
lain.
Dalam
keadaan seperti itu pelaku usaha dapat secara sepihak mempermainkan mutu barang
dan harga jual.
3)
Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai
kondisi serta jaminan barang dan/atau jasa.
Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus
disertai informasi yang benar.Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak
sampai mempunyai gambaran yang keliru atas produk barang dan jasa. Informasi
ini dapat disampaikan dengan berbagai cara, seperti lisan kepada konsumen,
melalui iklan di berbagai media, atau mencantumkan dalam kemasan produk kemasan
( barang ).
Jika dikaitkan dengan hak konsumen atas keamanan, maka setiap
produk yang mengandung resiko terhadap keamanan konsumen, wajib disertai
informasi berupa petunjuk pemakaian yang jelas. Sebagai contoh, iklan yang secara
ideal diartikan sebagai sarana pemberi informasi kepada konsumen, seharusnya
terbebas dari manipulasi data. Jika iklan memuat informasi yang tidak benar,
maka perbuatan itu memenuhi kriteria kejahatan yang lazim disebut mispresentation.
Bentuk kejahatan ini ditandai oleh:[10]
a) Pemakaian
pernyataan yang jelas – jelas salah ( false statemen ) seperti menyebutkan diri
terbaik tanpa indikator yang jelas.
b) Pernyataan yang
menyesatkan, misalnya ada khasiat tertentu padahal tidak ada khasiat tertentu
tersebut.
Menurut Troelstrup konsumen
pada saat ini membutuhkan banyak informasi yang lebih releven dibandingkan
dengan saat dibandingkan dengan sekitar 50 tahun lalu. Alasannya:
Ø Terdapat lebih banyak
produk, merek dan tentu saja penjualannya;
Ø Daya beli konsumen makin
meningkat;
Ø Lebih banyak variasi
merek yang beredar di pasaran, sehingga belum banyak diketahui semua orang;
Ø Model-model produk
lebih cepat berubah;
Ø Kemudahan transportasi
dan komunikasi sehingga membuka akses yang lebih besar kepada bermacam-macam produsen
atau penjual.
Hak
untuk mendapatkan informasi ini menurut Hans W. Micklitz, seorang ahli hukum
konsumen dari Jerman, dalam ceramah di jakarta, 26-30 oktober 1998 membedakan
konsumen berdasarkan hak ini. Ia menyatakan[11]
:
“Sebelum
melangkah lebih detail dalam perlindungan konsumen, terlebih dulu harus ada
persamaan persepsi tentang tipe konsumen yang akan mendapatkan perlindungan.
Menurutnya, secara garis besar dapat dibedakan dua tipe konsumen, yaitu:
a.
Konsumen
yang terinformasi.
Ciri-ciri konsumen yang terinformasi yakni:
1.
Memiliki
tingkat pendidikan tertentu;
2.
Mempunyai
sumber daya ekonomi yang cukup; sehingga dapat berperan dalam ekonomi pasar,
dan
3.
Lancar
berkomunikasi.
4.
Dengan
memiliki tiga potensi ini, konsumen mampu bertanggung jawab dan relatif tidak
memerlukan perlindungan.
b.
Konsumen
yang tidak terinformasi.
Ciri-ciri konsumen
yang tidak terinformasi, yaitu:
1.
Kurang
pendidikan ;
2.
Termasuk
kategori kelas menengah kebawah;
3.
Tidak
lancar berkomunikasih
Konsumen jenis ini
perlu dilindungi, dan khususnya menjadi tanggung jawab Negara untuk memberikan
perlindungan.”
Selain ciri-ciri
konsumen yang tidak terinformasi karena hal-hal khusus dapat juga dimasukan
kelompok anak-anak, orang tua, dan orang asing (yang tidak berkomunikasi dengan
bahasa setempat) sebagai jenis konsumen yang wajib dilindungi oleh Negara.
Dalam perdagangan yang sangat mengandalkan informasi, akses kepada informasi
yang tertutup, misalnya dalam praktik insider trading di bursa efek, dianggap
sebagai bentuk kejahatan yang serius.[12]
Penggunaan
teknologi tinggi dalam mekanisme produksi barang dan/atau jasa akan menyebabkan
makin banyaknya informasi yang harus dikuasai oleh masyarakat konsumen.
Mustahil mengharapkan sebagian besar konsumen memiliki kemampuan dan kesempatan
akses informasi secara sama besarnya. Apa yang dikenal dengan consumer
ignorance, yaitu ketidakmampuan
konsumen
menerima informasi akibat kemajuan teknologi dan keragaman produk yang
dipasarkan dapat saja dimanfaatkan secara tidak sewajarnya oleh pelaku usaha. Itulah
sebab, hukum perlindungan konsumen memberikan hak konsumen atas informasi yang
benar, yang didalamnya tercakup juga hak atas informasi yang proporsional dan
diberikan secara tidak diskriminatif.
4)
Hak
untuk didengar keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.
Hak yang erat kaitannya dengan hak untuk
mendapatkan informasi adalah hak untuk didengar.Ini disebabkan karena informasi
yang diberikan oleh pihak yang berkepentingan atau berkompeten sering tidak
cukup memuaskan konsumen.Untuk itu konsumen berhak mengajukan permintaan
informasi lebih lanjut.
5)
Hak
untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut.
Dampak negatif dari peredaran barang
dan jasa mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak
seimbang. Keadaan tersebut menjadikan kedudukan pihak konsumen menjadi lemah
dibandingkan pelaku usaha.Oleh karenanya pihak konsumen yang dipandang lebih
lemah secara hukum perlu mendapatkan perlindungan lebih besar dibandingkan
pelaku usaha.
6)
Hak
untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
Masalah perlindungan konsumen di Indonesia
termasuk masalah yang baru.Oleh karena itu wajar bila masih banyak konsumen
yang belum menyadari hak-haknya. Kesadaran akan hak tidak dapat dipungkiri
sejalan dengan kesadaran hukum. Makin tinggi tingkatan kesadaran hukum
masyarakat, makin tinggi penghormatannya pada hak-hak dirinya dan orang lain.
Upaya pendidikan konsumen tidak selalu melewati jenjang pendidikan formal,
tetapi dapat melewati media massa
dan kegiatan lembaga swadaya masyarakat.
Dalam
banyak hal, perilaku usaha terkait untuk memperhatikan hak konsumen untuk
mendapatkan pendidikan konsumen ini. Pengertian pendidikan tidak harus
diartikan sebagai proses formal yang dilembagakan. Pada prinsipnya, makin
kompleks teknologi yang diterapkan dalam menghasilkan suatu produk menuntut
pula makin banyak informasi yang harus disampaikan kepada konsumen. Bentuk
informasi yang lebih komersialisasi, sebenarnya sudah merupakan bagian dari
pendidikan konsumen yang menyisipkan program-program pendidikan konsumen yang
memiliki kegunaan praktis, seperti tata cara perawatan mesin, pemeliharaan ban,
atau penggunaan sabuk pengaman.
7)
Hak
untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya.
Jika konsumen merasakan, kuantitas dan kualitas
barang dan/atau jasa yang dikonsumsinya tidak sesuai dengan nilai tukar yang
diberikannya.Ia berhak mendapatkan ganti kerugian itu tentu saja harus sesuai
dengan ketentuan yang berlaku atau atas kesepakatan masing-masing pihak.Untuk
menghindar dari kewajiban memberikan ganti kerugian, sering terjadi pelaku
usaha mencantumkan klausul-klausul eksonerasi/klausul baku di dalam hubungan
hukum antara produsen/penyalur produk dan konsumennya. Klausula baku menurut Pasal 1
angka 10 Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah:
Klausula baku
adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan
dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan
dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh
konsumen.
Contoh klausulnya
seperti “barang yang dibeli tidak dapat dikembalikan” merupakan hal yang lazim
ditemukan pada toko-toko. Pencantuman secara sepihak demikian tetap tidak dapat
menghilangkan hak konsumen untuk mendapatkan ganti kerugian.
8)
Hak
untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.
Dalam mendapatkan barang dan/atau jasa yang
diinginkannya, konsumen berhak diperlakukan atau mendapatkan pelayanan secara
benar dan jujur dari produsen tanpa adanya tindakan diskriminatif. Hal ini
dimaksudkan agar konsumen memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga yang
wajar sehingga konsumen tidak merasa dirugikan.
9)
Hak-hak
yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.
Dari Sembilan
butir hak konsumen terlihat bahwa masalah kenyamanan, keamanan, keselamatan
konsumen merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen.
Selanjutnya untuk menjamin bahwa suatu barang dan/atau jasa dalam penggunaannya
akan nyaman maupun tidak membahayakan konsumen penggunanya, maka konsumen
diberikan hak untuk memilih barang dan atau/jasa yang dikehendakinya
berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jujur. Jika terdapat
penyimpangan yang merugikan, konsumen berhak untuk didengar, memperoleh
advokasi, pembinaan, perlakuan adil, kompensasi sampai ganti rugi .[13]
2.
kewajiban
konsumen
Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
kewajiban dari konsumen ialah sebagai berikut :
1) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan
produser pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan
keselamatan;
2) Beritikad baik dalam melakukan transaksi
pembelian barang dan/atau jasa;
3) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang
disepakati;
4) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa
perlindungan konsumen secara patut.
b.
Hak dan Kewajiban
Pelaku usaha
Untuk mendapatkan kenyamanan berusaha bagi pelaku usaha dan
sebagai keseimbangan atas hak-hak dan kewajiban yang diberikan kepada konsumen.
[14]
1.
Hak
Pelaku Usaha
Hak pelaku usaha berdasarkan Pasal 6
Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebagai berikut:
1) Menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
2) Mendapat perlindungan hukum dari tindakan
konsumen yang beritikad tidak baik;
3) Melakukan pembelaan diri sepatunya didalam
penyelenggaraan hukum sengketa konsumen;
4) Rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti
secara hukum bahwa kerugian konsumen diakibatkan oleh barang dan atau/jasa yang
diperdagangkan
5) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan
perundang-undangan lainnya.
2.
Kewajiban
Pelaku Usaha
Berdasarkan
Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen kewajiban pelaku usaha sebagai
berikut:
1) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan
usahanya;
2) Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, serta memberikan penjelasan
penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;
3) Memperlakukan atau melayani konsumen secara
benar dan jujur, serta tidak diskriminatif;
4) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang
diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang
dan/atau jasa yang berlaku;
5) Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk
menguji, dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan;
6) Memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau
pengganti apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak
sesuai dengan perjanjian
B.
Pertanggungjawaban
Pemerintah Terhadap Produk Pangan Industri Rumah Tangga yang Tidak Memiliki
Izin Dari Dinas Kesehatan
Izin produksi terhadap
suatu produk pangan merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi sebelum produk
pangan tersebut beredar di masyarakat yang dijelaskan dalam Keputusan Kepala
BPOM No. HK. 00.05.5.1640 tahun 2003 tentang Pedoman Tata Cara Penyelenggaraan
Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga dan Peraturan Pemerintah Nomor
28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, Gizi dan Pangan Pasal 43 ayat (2).
Walaupun aturan tentang izin produksi produk pangan Industri Rumah Tangga
mensyaratkan agar sebelum diedarkan setiap produk pangan harus didaftarkan guna
mendapatkan izin produksi, pada kenyataannya masih banyak dijumpai beredarnya
produk pangan hasil olahan Industri Rumah Tangga yang beredar tanpa izin
produksi.
Tanggung jawab
Pemerintah dalam melakukan pengawasan penyelenggaraan perlindungan konsumen
menjadi bagian yang penting dalam upaya membangun kegiatan usaha yang positif
dan dinamis, sehingga hak-hak konsumen tetap bisa diperhatikan oleh para pelaku
usaha.
Proses pengawasan
harus dilakukan oleh Dinas Kesehatan dengan mendatangi langsung lokasi Industri
Rumah Tangga tersebut dan memeriksa sarana produksi serta lokasi di sekitar
tempat produksi produk pangan Industri Rumah Tangga. Upaya pengendalian produksi,
distribusi dan peredaran produk pangan Industri Rumah Tangga dilakukan dengan
cara menghimbau kepada setiap supermarket atau toko-toko tempat penjualan
produk pangan Industri Rumah Tangga agar tidak menerima produk-produk pangan
Industri Rumah Tangga yang tidak memiliki izin dari Dinas Kesehatan. Himbauan
tersebut juga disampaikan kepada setiap kepala sekolah agar memeriksa setiap
jajanan-jajanan yang terdapat di wilayahnya
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Bertitik
tolak dari pembahasan terdahulu dan mengacu pada rumusan masalah yang telah
ditetapkan, maka dapat penulis simpulkan bahwa :
1)
Bentuk
pertanggungjawaban produsen makanan khususnya Industri Rumah Tangga (Home
Industry) yang tidak memiliki izin dari Dinas Kesehatan terhadap konsumen
atas produknya yang beredar di pasaran, bahwa berdasarkan wawancara penulis
bahwa produsen hanya terbatas pada lebih memperhatikan lagi bahan baku yang digunakan dalam
mengolah produknya. Apabila terjadi kerugian terhadap konsumen baik itu
kerugian materi maupun fisik maka upaya yang biasa ditempuh oleh produsen yaitu
selain menarik produknya yang beredar di pasaran maka produsen juga memberikan
ganti kerugian sesuai dengan apa yang diinginkan oleh konsumen. Adapun
ketentuan yang lebih mengikat bahwa produsen harus bertanggung jawab,
berdasarkan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen
Pasal 19 ayat (1) menyatakan bahwa yaitu pelaku usaha bertanggung jawab dalam
hal memberikan ganti kerugian kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen
akibat mengonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau di perdagangkan.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 19 ayat (2) Ganti kerugian yang dimaksud yaitu
berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan atau jasa yang sejenis dan
setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan atau pemberian santun sesuai
dengan kerugian yang di derita oleh konsumen.
2)
Pertanggungjawaban
pemerintah terhadap konsumen apabila ada yang mengalami kerugian akibat
mengonsumsi produk pangan olahan Industri Rumah Tangga yang tidak memiliki izin
hanya terbatas melakukan serangkaian penyelidikan untuk mengetahui penyebab
kerugian dan menanggung biaya pemeriksaan sampel produk makanan yang telah dikonsumsi
oleh konsumen di laboratorium. Melakukan pembinaan kepada konsumen melalui
media massa
tentang produk pangan olahan Industri Rumah Tangga (Home Industry) yang
aman dan layak untuk dikonsumsi. Memberikan sanksi sosial dan pembinaan kepada
produsen yang produknya terbukti menyebabkan kerugian. Melakukan mediasi antara
produsen dengan konsumen yang telah merasa dirugikan.
B. SARAN
Agar
tercipta rasa aman dalam mengonsumsi produk pangan hasil olahan Industri Rumah
Tangga (home industry), maka semua pihak mulai dari pihak pelaku usaha,
konsumen, serta pemerintah melalui aparatnya dalam hal ini BBPOM dan Dinas
Kesehatan harus memiliki kesadaran yang tinggi. Kesadaran konsumen melaporkan
ke BBPOM jika mendapatkan produk pangan hasil olahan Industri Rumah Tangga (home
industry) yang tidak memiliki izin dapat membantu pihak BBPOM dan Dinas
Kesehatan dalam mencegah produk pangan hasil olahan Industri Rumah Tangga (home
industry) yang tidak memiliki izin beredar di masyarakat. Kesadaran serta
tanggung jawab juga perlu dikembangkan oleh pihak produsen Industri Rumah
Tangga (home industry) agar menyadari bahwa dalam memproduksi suatu
produk pangan khususnya produk pangan hasil olahan Industri Rumah Tangga (home
industry) produsen sebaiknya bertanggung jawab tidak hanya menyangkut
keamanan produknya ketika dikonsumsi oleh konsumen, tetapi juga harus
bertanggung jawab atas semua akibat yang disebabkan oleh proses produksi yang
dapat merugikan manusia dan lingkungan sekitarnya. Untuk menghindari adanya
kerugian yang diderita oleh konsumen baik itu materi maupun fisik, sebaiknya
produsen berhati-hati dalam setiap proses produksi agar kerugian yang
ditimbulkan oleh konsumen ketika mengonsumsi produk pangan tersebut dapat
dihindari sedini mungkin.
DAFTAR PUSTAKA
1) Kristiyanti, Celina Tri Siwi. 2009. Hukum
Perlindungan Konsumen. Jakarta:
Sinar Grafika.
2) Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo. 2008. Hukum
Perlindungan Konsumen. Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada.
3) Shofie, Yusuf. 2008. Kapita Selekta Hukum
Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti.
4) Shofie, Yusuf. 2002. Pelaku Usaha, Konsumen,
dan Tindak Pidana Korporasi. Jakarta:
Ghalia Indonesia.
5) Siahaan, N.H.T. 2005. Hukum Perlindungan
Konsumen dan Tanggung Jawab Produk. Jakarta:
Panta Rei.
6) Sidabalok, Janus. 2010. Hukum Perlindungan
Konsumen di Indonesia. Bandung
: PT. Citra Aditya Bakti.
7) Siswosoediro, Henry S. 2007. Mengurus
Surat-Surat Perijinan. Jakarta:
Visimedia.
8) Susanto, Happy. 2008. Hak-Hak Konsumen Jika
Dirugikan. Jakarta:
Visimedia.
9) Syawali, Husni dan Neni Sri Imaniyati. 2000. Hukum
Perlindungan Konsumen, Bandung:
Mandar Maju.
10) Sudaryatmo. 1999. Hukum dan Advokasi
Konsumen. Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti.
11) Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani. 2003. Hukum tentang
Perlindungan Konsumen. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama.
sumber Lain
1) http://www.bisnis-KTI.com, diakses 29 maret 2011
2)
http://www.wikipedia.org/wiki/Badan Pengawas Obat dan Makanan, diakses
31 maret 2011
[1] Janus Sidabalok.. Hukum
Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung 2010: Citra Aditya Bakti. Hal 50
[2] Ahmad miru &
Sutarmin yodo.. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: 2008 RajaGrafindo Persada.Hal 65
[6] Ibid, hal 5
[10] N.H.T Siahaan,Hukum
Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk. Jakarta:2005 Panta Rei, Hal.12
[13] Guanawan Widjaja
dan Ahmad Yani., Hukum tentang Perlindungan Konsumen. Jakarta: 2003, Gramedia Pustaka Utama, Hal
29-30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar