Senin, 25 Februari 2013

perlindungan




BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Manusia mempunyai kebutuhan yang beragam seiring dengan peningkatan kesejahteraanya. Beberapa kebutuhan manusia antara lain, kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder. Salah satu dari sekian banyak kebutuhan tesebut adalah kebutuhan pangan atau makanan.
Kebutuhan akan pangan merupakan kebutuhan primer atau pokok bagi setiap lapisan masyarakat disamping kebutuhan sandang/pakaian dan papan/perumahan. Makanan mempunyai peranan yang sangat luas bagi kehidupan, karena kehidupan manusia tidak dapat melepaskan diri dari kebutuhan akan makanan. Manusia dapat hidup karena mendapat asupan gizi dari makanan yang dikonsumsinya.
Hal itulah yang memacu para pengusaha yang bergerak dalam bidang produksi dan pengolahan bahan makanan untuk memproduksi makanan bagi masyarakat (konsumen) dalam jumlah yang besar. Pada era globalisasi dan modern seperti saat ini banyak industri makanan dan minuman tumbuh dan berkembang. Salah satu industri yang bergerak dalam bidang makanan dan minuman adalah Home Industry. Home Industry makanan dan minuman merupakan salah satu industri yang sangat potensial dan memiliki prospek yang baik untuk ditumbuh kembangkan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya Home Industry yang tersebar secara luas di seluruh pelosok tanah air meski dalam jenis dan skala usaha yang berbeda-beda.
Berbagai inovasi diciptakan dengan membuat berbagai bentuk kreasi hasil Home Industry salah satunya yang paling marak adalah usaha di sektor makanan dan minuman. Antara lain: membuat donat, coklat, roti unyil, minuman kemasan dari lidah buaya, rumput laut, dan sebagainya. Dari semula iseng-iseng, ternyata produk Home Industry ini malah sudah mulai mendapat tanggapan pasar yang cukup baik.
Faktor yang mendukung tumbuh kembangnya Home Industry adalah industri tersebut hampir 100% menggunakan bahan baku yang tersedia didalam negeri, dipasarkan dalam negeri, dikonsumsi oleh masyarakat secara luas dan memberikan konstribusi bagi pengembangan ekonomi masyarakat kecil dan menengah.
Dalam upaya menumbuhkembangkan industri tersebut, maka pemerintah melalui berbagai instansi terkait melakukan berbagai upaya pembinaan, baik yang bersifat teknis produksi, manajemen pemasaran maupun melalui peraturan yang ada untuk menjamin tersedianya pangan bagi masyarakat.
Berbagai peraturan yang berkaitan dengan pangan, tidak terlepas dari perlindungan konsumen, agar dapat mengonsumsi makanan dengan aman. Pangan yang aman, bermutu, dan bergizi sangat penting peranannya bagi pertumbuhan, pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan serta peningkatan kecerdasan masyarakat. Pemerintah sangat mendukung adanya masyarakat yang berswadaya dengan landasan Home Industry, Namun sebelum seorang pelaku usaha memulai Home Industry hendaknya terlebih dahulu mengetahui secara global peraturan yang mengatur Home Industry.
Berdasarkan UU RI No 7 Tahun 1996 tentang Pangan mengatur bahwa tujuan pengaturan, pembinaan dan pengawasan pangan adalah untuk tersedianya pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan gizi bagi kepentingan kesehatan manusia. Mengingat hal tersebut diatas maka SP-IRT(Sertifikat Produksi Industri Rumah Tangga) dan izin Dinas Kesehatan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas Industri Rumah Tangga pangan, meletakkan Industri Rumah Tangga pangan dalam posisi strategis dan sehat.
Bertolak dari luas dan kompleksnya hubungan antara produsen dan konsumen, serta banyaknya mata rantai penghubung keduanya, maka untuk melindungi konsumen sebagai pemakai akhir dari produk barang dan/atau jasa membutuhkan berbagai aspek hukum agar benar-benar dapat dilindungi dengan adil. Dalam hal ini peranan Negara sangat dibutuhkan dalam melakukan pembinaan dan pengawasan guna melindungi kepentingan konsumen pada umumnya.
Pemerintah membuat peraturan perundang-undangan yang mengatur kepentingan konsumen yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen selanjutnya disingkat dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, diundangkan pada tanggal 20 april 1999 dan dinyatakan berlaku mulai tanggal 20 april 2000 satu tahun setelah undang-undang tersebut dikeluarkan. Dengan berlakunya Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut, maka ketentuan dalam perundang-undangan sebelumnya masih dapat berlaku sejauh belum diatur yang baru menurut undang-undang tersebut atau jika tidak bertentangan dengan undang-undang tersebut.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini dapat dijadikan payung (umbrella act) bagi perundang-undangan lain yang bertujuan untuk melindungi konsumen, baik yang sudah ada maupun yang masih akan dibuat nanti. [1]
Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen diatur tentang Perbuatan yang Dilarang bagi Pelaku Usaha yakni.“Pelaku Usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Menurut Nurmadjito larangan yang dimaksudkan untuk mengupayakan agar setiap barang dan/atau jasa yang beredar di masyarakat merupakan produk yang layak edar, antara lain asal usul, kualitas sesuai dengan informasi pengusaha baik melalui label,etiket, iklan, dan lain sebagainya.[2]
Adanya undang-undang yang mengatur perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha.Undang-Undang Perlindungan Konsumen justru bisa mendorong iklim usaha yang sehat serta mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan yang ada dengan menyediakan barang/jasa yang berkualitas. Dalam penjelasan umum Undang-Undang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa dalam pelaksanaannya akan tetap memerhatikan hak dan kepentingan pelaku usaha kecil dan menengah. [3]
Namun, kenyataannya yang terjadi di pasaran masih banyak terdapat pelanggaran terhadap ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut. Untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, seringkali pelaku usaha mengenyampingkan hak-hak konsumen serta larangan yang telah diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Akhir-akhir ini, masyarakat sering dikejutkan dengan adanya pemberitaan di berbagai media massa bahwa banyak produk, terutama makanan yang sering dikonsumsi sehari-hari mengandung bahan-bahan yang berbahaya bagi kesehatan, seperti adanya kandungan formalin atau bahan pengawet makanan lainnya. Keamanan pangan di Indonesia masih jauh dari keadaan aman, yang dapat dilihat dari peristiwa keracunan makanan yang banyak terjadi belakangan ini.
Dalam kondisi demikian, konsumen pada umumnya belum mempunyai kesadaran tentang keamanan makanan yang mereka konsumsi, sehingga belum banyak konsumen yang menuntut produsen makanan tersebut. Hal ini pula yang menyebabkan produsen makanan semakin mengabaikan keselamatan konsumen demi memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya.[4] Sebagai konsumen tentunya masyarakat akan sangat dirugikan dengan kondisi produk yang tidak sesuai dengan standar kesehatan, apalagi membawa dampak yang buruk dalam kehidupan masyarakat.
Realitas di atas menunjukkan bahwa masalah perlindungan konsumen adalah masalah yang sangat serius. Akan tetapi, masalah-masalah tersebut baru dipersoalkan ketika ramai dibahas dalam pemberitaan di berbagai media. Pada saat mulai sepi dari pemberitaan, masalah-masalah ini seakan luput dari perhatian masyarakat, pemerintah, dan pihak-pihak yang berhubungan dengan perlindungan konsumen.
Masalah perlindungan konsumen semakin gencar dibicarakan di berbagai media massa. Permasalahan ini tidak akan pernah habis dan akan selalu menjadi bahan perbincangan di masyarakat, apabila masih banyak konsumen yang dirugikan. Oleh karena itu, masalah perlindungan konsumen perlu mendapat perhatian yang khusus dari pemerintah.
Salah satu masalah yang timbul dalam masyarakat yakni banyaknya beredar produk Home Industry yang tidak memiliki izin dari Dinas Kesehatan. Kebanyakan dari pelaku usaha Home Industry menyadari hal tersebut tetapi karena usaha mereka sudah berjalan maka banyak pelaku usaha Home Industry “kucing-kucingan” dengan aparat kepolisian dan badan POM. Sehingga banyak ditemui produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan keamanan pangan ( Bahan Tambahan Pangan, cemaran mikroba, tanggal kadaluarsa ), masih banyak kasus keracunan, masih rendahnya pengetahuan, keterampilan dan tanggungjawab produsen pangan tentang mutu dan keamanan pangan serta rendahnya kepedulian konsumen itu sendiri. Untuk itu suatu produk Home Industry khususnya produk pangan harus sesuai dengan standar agar aman dikonsumsi.
Produk Home Industry yang telah memiliki izin Dinas Kesehatan berarti produk tersebut telah sesuai standar atau persyaratan, keamanan, mutu, serta manfaat dari produk tersebut. Sebaliknya, produk Home Industry yang tidak memiliki izin Dinas Kesehatan baik itu berupa produk makanan maupun minuman tentu saja belum melewati tahap pemeriksaan oleh pihak yang berwenang memeriksanya.
Produk Home Industry yang tidak memiliki izin Dinas Kesehatan jika dikonsumsi oleh konsumen dapat menyebabkan kerugian, baik kerugian secara materi maupun psikis. Hal ini tentu saja merugikan konsumen sebagai pihak yang membutuhkan dan mengonsumsi produk Home Industry


B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka untuk lebih memfokuskan penelitian ini rumusan masalah yang akan dibahas oleh penulis adalah:
1.      Bagaimana bentuk pertanggungjawaban produsen yang tidak memiliki registrasi Dinas Kesehatan ?
2.      Bagaimana pertanggungjawaban pemerintah terhadap konsumen yang mengalami kerugian akibat mengonsumsi barang yang tidak memiliki izin Dinas Kesehatan?




C. Tujuan dari rumusan masalah

Tujuan dari penulisan makalah  ini adalah sebagai berikut :
1.       Untuk mengetahui bentuk pertanggungjawaban produsen atas barang dagangannya yang tidak memiliki registrasi Dinas Kesehatan.
2.       Untuk mengetahui bentuk pertanggungjawaban pemerintah terhadap konsumen yang mengalami kerugian akibat mengonsumsi barang yang tidak memiliki izin Dinas Kesehatan.


































BAB I
PEMBAHASAN


A.    Pertanggungjawaban Produsen Kepada konsumen

1.      Pertanggungjawaban Produsen Yang Tidak Memiliki Registrasi Dinas Kesehatan.
Pertanyaan yang sering muncul ketika membicarakan masalah mengenai industri rumah tangga adalah siapa yang bertanggung jawab atas kasus banyaknya beredar produk makanan atau minuman yang tidak memiliki atau memegang izin dari dinas kesehatan khususnya dinas kesehatan kota Makassar?. Pada Pasal19 sampai Pasal 28 Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang paling bertanggung jawab adalah produsen makanan atau minuman industri rumahan (home industry).
Pemberian jaminan mutu dan keamanan pangan kepada konsumen sudah merupakan kewajiban para pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya. Registrasi terhadap suatu produk pangan hasil olahan Industri Rumah Tangga (Home Industry) merupakan jaminan mutu dan keamanan pangan terhadap kelayakan suatu produk pangan agar dapat dikonsumsi oleh konsumen. Registrasi untuk produk pangan hasil olahan Industri Rumah Tangga (Home Industry) dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan, agar produk pangan tersebut secara sah dapat beredar di pasaran.
Masalah makanan dalam hal ini makanan olahan yang beredar di pasaran merupakan masalah yang harus mendapat perhatian khusus dalam upaya penyelenggaraan kesehatan secara keseluruhan. Adanya peningkatan produksi secara besar-besaran yang dilakukan oleh industri makanan, bukan berarti tidak menimbulkan konsekuensi bagi pemerintah karena produksi yang dihasilkan harus tetap terkendali dan diawasi dengan seksama, agar produk makanan tersebut mempunyai mutu dan keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan.

2.      Pertanggungjawaban Produsen menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Undang-undang Perlindungan Konsumen memuat aturan-aturan hukum tentang perlindungan kepada konsumen yang berupa payung bagi perundang-undangan lainnya yang menyangkut konsumen, sehingga memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen.
Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen cukup memadai. Kalimat yang terdapat dalam Pasal tersebut menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen.
Meskipun undang-undang ini disebut sebagai Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK). Namun, bukan berarti kepentingan pelaku usaha tidak ikut menjadi perhatian teristimewa karena keberadaan perekonomian nasional banyak ditentukan oleh para pelaku usaha. [5]
Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang dapat dikualifikasikan sebagai konsumen sesungguhnya tidak hanya terbatas pada subjek hukum yang disebut “orang”, akan tetapi masih ada subjek hukum lain yang juga sebagai konsumen akhir yaitu “badan hukum” yang mengonsumsi barang dan/atau jasa serta tidak untuk diperdagangkan.[6]

a.      Dasar Pertanggungjawaban

Berdasarkan isi Pasal 19 sampai Pasal 28 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dijelaskan bahwa undang-undang ini tidak jelas menyebutkan apa yang menjadi dasar pertanggungjawaban pelaku usaha sehubungan dengan kerugian yang timbul pada konsumen. Pasal 19 ayat (1) mengatakan bahwa:
Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
Memperhatikan substansi Pasal 19 ayat (1) dapat dilihat bahwa tanggung jawab pelaku usaha, meliputi:
1.      Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan.
2.      Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran
3.      Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen

Berdasarkan hal ini, maka adanya produk barang dan/atau jasa yang cacat bukan merupakan satu-satunya dasar pertanggungjawaban pelaku usaha. Hal ini berarti bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala kerugian yang dialami konsumen.
Pasal 19 ayat (2) menentukan bahwa pemberian ganti kerugian dapat berupa pengembalian uang dan/atau penggantian barang dan/atau jasa yang setara nilainya dan/atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan dapat diberikan sekaligus kepada konsumen. [7]
Pada isi Pasal 19 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen tentang jangka waktu pemberian ganti rugi, yaitu tujuh hari setelah tanggal transaksi, dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab itu sifatnya mutlak (strict) sebab Pasal 19 ayat (3) ini tidak menganjurkan supaya persoalan ganti rugi itu diselesaikan melalui pengadilan yang membutuhkan prosedur persidangan yang relatif lama. artinya, menurut pembuat undang-undang, jika konsumen menderita kerugian sebagai akibat dari penggunaan atau pemakaian produk, dapat langsung menuntut ganti rugi kepada produsennya. Apabila ternyata produsen tersebut menolak menanggapi atau membayar ganti rugi, barulah kemudian produsen dapat dituntut ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau ke pengadilan (Janus Sidabalok, 2010:156).



b.      Jenis dan Besarnya Kerugian yang Dapat Dituntut
Kerugian yang dapat dituntut dari produsen, menurut Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen terdiri dari:
1.    Kerugian atas kerusakan
2.    Kerugian karena pencemaran
3.    Kerugian konsumen sebagai akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen besarnya ganti kerugian yang dapat dituntut dari pelaku usaha adalah kerugian sebagai akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa. Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa sanksi administratif berupa penetapan ganti kerugian yang ditetapkan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) paling banyak Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).[8]

c.       Pihak-Pihak Yang Dapat Dituntut Bertanggung Jawab

Pada perkembangan masa kini produsen memiliki kewajiban untuk selalu bersikap hati-hati dalam memproduksi barang dan/atau jasa yang dihasilkannya. Segala bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha mau tidak mau berimplikasi pada adanya hak konsumen untuk meminta pertanggungjawaban dari pelaku usaha yang telah merugikannya. Berdasarkan Pasal 19 ayat (1) pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, atau kerugian yang diderita konsumen akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.[9]
Menurut Nurmadjito, pelaku usaha atau produsen yang diharuskan bertanggung jawab atas hasil usahanya adalah pelaku usaha yang melakukan kegiatan-kegiatan berikut:

1)      Menghasilkan produk akhir, termasuk memproduksi bahan mentah atau komponen.
2)      Mencantumkan nama, merek, atau tanda lain pada produk dengan tidak menunjukkan pihaknya sebagai produsen.
3)      Mengimpor barang ke wilayah Republik Indonesia.
4)      Menyalurkan barang yang tidak jelas identitas produsennya, baik produk dalam negeri maupun importirnya yang tidak jelas identitasnya.
5)      Menjual jasa seperti mengembangkan perumahan atau membangun apartemen
6)      Menjual jasa dengan menyewakan alat transportasi atau alat berat

a.      Hak dan Kewajiban Konsumen

Konsumen dengan pelaku usaha mempunyai hubungan yang saling membutuhkan.Pelaku usaha dalam memasarkan barang dagangannya pasti membutuhkan konsumen.Dalam hal ini, seorang konsumen tentu mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi.
Pelaku usaha sering mengabaikan hak konsumen sehingga konsumen harus memperjuangkan hak-haknya usaha dipenuhi oleh pelaku usaha. Sementara bagi konsumen, harus dapat menjadi konsumen yang baik karena ada juga konsumen yang sengaja mau mengabaikan pelaku usaha walaupun jumlahnya
cenderung sangat kecil bila dibandingkan dengan pelaku usaha yang tidak memperhatikan hak dari konsumen.
Bagi seorang konsumen, biasanya yang penting adalah mendapatkan barang yang dia inginkan. Sementara bagi pelaku usaha, tujuannya adalah untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya sehingga sering timbul pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha yang akan merugikan konsumen. Adapun yang menjadi hak dan kewajiban konsumen adalah sebagai berikut:


1.    Hak Konsumen

Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen hak dari konsumen ialah sebagai berikut :
1)      Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa.
Barang dan/atau jasa yang dihasilkan dan dipasarkan oleh pelaku usaha beresiko sangat tinggi terhadap keamanan konsumen, Konsumen berhak mendapatkan keamanan dari barang dan jasa yang ditawarkan kepadanya. Produk barang dan/atau jasa itu tidak boleh membahayakan jika dikonsumsi sehingga konsumen tidak dirugikan baik secara jasmani dan rohani. Pemerintah selayaknya mengadakan pengawasan secara ketat. Hal ini dapat memberikan salah satu jaminan keamanan bagi konsumen.

2)      Hak untuk memilih barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi, serta jaminan yang dijanjikan.
Dalam mengonsumsi suatu produk, konsumen berhak menentukan pilihannya. Ia tidak boleh mendapatkan tekanan dari pihak luar sehingga ia tidak bebas membeli. Hak untuk memilih ini erat kaitannya dengan situasi pasar. Jika seseorang atau suatu golongan diberi hak monopoli untuk memproduksi dan memasarkan barang atau jasa, maka besar kemungkinan konsumen kehilangan hak untuk memilih produk yang satu dengan produk yang lain.
Undang–undang No.5 tahun 1999 tentang Praktik Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mengartikan monopoli sebagai penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Dampak dari praktik monopoli ini adalah adanya praktik persaingan tidak sehat (unfair competition) yang merugikan kepentingan konsumen.
Jika monopoli itu diberikan kepada perusahaan yang tidak berorentasi pada kepentingan konsumen, akhirnya konsumen didikte, suka maupun tidak suka untuk mengkonsumsi barang atau jasa itu tanpa ada pilihan lain.
Dalam keadaan seperti itu pelaku usaha dapat secara sepihak mempermainkan mutu barang dan harga jual.

3)      Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi serta jaminan barang dan/atau jasa.

Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai informasi yang benar.Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai mempunyai gambaran yang keliru atas produk barang dan jasa. Informasi ini dapat disampaikan dengan berbagai cara, seperti lisan kepada konsumen, melalui iklan di berbagai media, atau mencantumkan dalam kemasan produk kemasan ( barang ).
Jika dikaitkan dengan hak konsumen atas keamanan, maka setiap produk yang mengandung resiko terhadap keamanan konsumen, wajib disertai informasi berupa petunjuk pemakaian yang jelas. Sebagai contoh, iklan yang secara ideal diartikan sebagai sarana pemberi informasi kepada konsumen, seharusnya terbebas dari manipulasi data. Jika iklan memuat informasi yang tidak benar, maka perbuatan itu memenuhi kriteria kejahatan yang lazim disebut mispresentation. Bentuk kejahatan ini ditandai oleh:[10]
a)    Pemakaian pernyataan yang jelas – jelas salah ( false statemen ) seperti menyebutkan diri terbaik tanpa indikator yang jelas.
b)   Pernyataan yang menyesatkan, misalnya ada khasiat tertentu padahal tidak ada khasiat tertentu tersebut.
Menurut Troelstrup konsumen pada saat ini membutuhkan banyak informasi yang lebih releven dibandingkan dengan saat dibandingkan dengan sekitar 50 tahun lalu. Alasannya:
Ø  Terdapat lebih banyak produk, merek dan tentu saja penjualannya;
Ø  Daya beli konsumen makin meningkat;
Ø  Lebih banyak variasi merek yang beredar di pasaran, sehingga belum banyak diketahui semua orang;
Ø  Model-model produk lebih cepat berubah;
Ø  Kemudahan transportasi dan komunikasi sehingga membuka akses yang lebih besar kepada bermacam-macam produsen atau penjual.

Hak untuk mendapatkan informasi ini menurut Hans W. Micklitz, seorang ahli hukum konsumen dari Jerman, dalam ceramah di jakarta, 26-30 oktober 1998 membedakan konsumen berdasarkan hak ini. Ia menyatakan[11] :
“Sebelum melangkah lebih detail dalam perlindungan konsumen, terlebih dulu harus ada persamaan persepsi tentang tipe konsumen yang akan mendapatkan perlindungan. Menurutnya, secara garis besar dapat dibedakan dua tipe konsumen, yaitu:

a.       Konsumen yang terinformasi.
 Ciri-ciri konsumen yang terinformasi yakni:
1.      Memiliki tingkat pendidikan tertentu;
2.      Mempunyai sumber daya ekonomi yang cukup; sehingga dapat berperan dalam ekonomi pasar, dan
3.      Lancar berkomunikasi.
4.      Dengan memiliki tiga potensi ini, konsumen mampu bertanggung jawab dan relatif tidak memerlukan perlindungan.

b.      Konsumen yang tidak terinformasi.
Ciri-ciri konsumen yang tidak terinformasi, yaitu:
1.      Kurang pendidikan ;
2.      Termasuk kategori kelas menengah kebawah;
3.      Tidak lancar berkomunikasih

Konsumen jenis ini perlu dilindungi, dan khususnya menjadi tanggung jawab Negara untuk memberikan perlindungan.”
Selain ciri-ciri konsumen yang tidak terinformasi karena hal-hal khusus dapat juga dimasukan kelompok anak-anak, orang tua, dan orang asing (yang tidak berkomunikasi dengan bahasa setempat) sebagai jenis konsumen yang wajib dilindungi oleh Negara. Dalam perdagangan yang sangat mengandalkan informasi, akses kepada informasi yang tertutup, misalnya dalam praktik insider trading di bursa efek, dianggap sebagai bentuk kejahatan yang serius.[12]
Penggunaan teknologi tinggi dalam mekanisme produksi barang dan/atau jasa akan menyebabkan makin banyaknya informasi yang harus dikuasai oleh masyarakat konsumen. Mustahil mengharapkan sebagian besar konsumen memiliki kemampuan dan kesempatan akses informasi secara sama besarnya. Apa yang dikenal dengan consumer ignorance, yaitu ketidakmampuan
konsumen menerima informasi akibat kemajuan teknologi dan keragaman produk yang dipasarkan dapat saja dimanfaatkan secara tidak sewajarnya oleh pelaku usaha. Itulah sebab, hukum perlindungan konsumen memberikan hak konsumen atas informasi yang benar, yang didalamnya tercakup juga hak atas informasi yang proporsional dan diberikan secara tidak diskriminatif.
4)      Hak untuk didengar keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.

Hak yang erat kaitannya dengan hak untuk mendapatkan informasi adalah hak untuk didengar.Ini disebabkan karena informasi yang diberikan oleh pihak yang berkepentingan atau berkompeten sering tidak cukup memuaskan konsumen.Untuk itu konsumen berhak mengajukan permintaan informasi lebih lanjut.




5)      Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Dampak negatif dari peredaran barang dan jasa mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang. Keadaan tersebut menjadikan kedudukan pihak konsumen menjadi lemah dibandingkan pelaku usaha.Oleh karenanya pihak konsumen yang dipandang lebih lemah secara hukum perlu mendapatkan perlindungan lebih besar dibandingkan pelaku usaha.

6)      Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.

Masalah perlindungan konsumen di Indonesia termasuk masalah yang baru.Oleh karena itu wajar bila masih banyak konsumen yang belum menyadari hak-haknya. Kesadaran akan hak tidak dapat dipungkiri sejalan dengan kesadaran hukum. Makin tinggi tingkatan kesadaran hukum masyarakat, makin tinggi penghormatannya pada hak-hak dirinya dan orang lain. Upaya pendidikan konsumen tidak selalu melewati jenjang pendidikan formal, tetapi dapat melewati media massa dan kegiatan lembaga swadaya masyarakat.
Dalam banyak hal, perilaku usaha terkait untuk memperhatikan hak konsumen untuk mendapatkan pendidikan konsumen ini. Pengertian pendidikan tidak harus diartikan sebagai proses formal yang dilembagakan. Pada prinsipnya, makin kompleks teknologi yang diterapkan dalam menghasilkan suatu produk menuntut pula makin banyak informasi yang harus disampaikan kepada konsumen. Bentuk informasi yang lebih komersialisasi, sebenarnya sudah merupakan bagian dari pendidikan konsumen yang menyisipkan program-program pendidikan konsumen yang memiliki kegunaan praktis, seperti tata cara perawatan mesin, pemeliharaan ban, atau penggunaan sabuk pengaman.


7)      Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

Jika konsumen merasakan, kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa yang dikonsumsinya tidak sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya.Ia berhak mendapatkan ganti kerugian itu tentu saja harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau atas kesepakatan masing-masing pihak.Untuk menghindar dari kewajiban memberikan ganti kerugian, sering terjadi pelaku usaha mencantumkan klausul-klausul eksonerasi/klausul baku di dalam hubungan hukum antara produsen/penyalur produk dan konsumennya. Klausula baku menurut Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah:
Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.

Contoh klausulnya seperti “barang yang dibeli tidak dapat dikembalikan” merupakan hal yang lazim ditemukan pada toko-toko. Pencantuman secara sepihak demikian tetap tidak dapat menghilangkan hak konsumen untuk mendapatkan ganti kerugian.


8)      Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

Dalam mendapatkan barang dan/atau jasa yang diinginkannya, konsumen berhak diperlakukan atau mendapatkan pelayanan secara benar dan jujur dari produsen tanpa adanya tindakan diskriminatif. Hal ini dimaksudkan agar konsumen memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga yang wajar sehingga konsumen tidak merasa dirugikan.


9)      Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.

Dari Sembilan butir hak konsumen terlihat bahwa masalah kenyamanan, keamanan, keselamatan konsumen merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen. Selanjutnya untuk menjamin bahwa suatu barang dan/atau jasa dalam penggunaannya akan nyaman maupun tidak membahayakan konsumen penggunanya, maka konsumen diberikan hak untuk memilih barang dan atau/jasa yang dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jujur. Jika terdapat penyimpangan yang merugikan, konsumen berhak untuk didengar, memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan adil, kompensasi sampai ganti rugi .[13]

2.    kewajiban konsumen

Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Konsumen kewajiban dari konsumen ialah sebagai berikut :
1)      Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan produser pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
2)      Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
3)      Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4)      Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
b.      Hak dan Kewajiban Pelaku usaha

Untuk mendapatkan kenyamanan berusaha bagi pelaku usaha dan sebagai keseimbangan atas hak-hak dan kewajiban yang diberikan kepada konsumen. [14]





1.      Hak Pelaku Usaha

Hak pelaku usaha berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebagai berikut:
1)      Menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
2)      Mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
3)      Melakukan pembelaan diri sepatunya didalam penyelenggaraan hukum sengketa konsumen;
4)      Rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen diakibatkan oleh barang dan atau/jasa yang diperdagangkan
5)      Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.

2.      Kewajiban Pelaku Usaha

Berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen kewajiban pelaku usaha sebagai berikut:
1)      Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
2)      Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;
3)      Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur, serta tidak diskriminatif;
4)      Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
5)      Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan;
6)      Memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau pengganti apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian
B.  Pertanggungjawaban Pemerintah Terhadap Produk Pangan Industri Rumah Tangga yang Tidak Memiliki Izin Dari Dinas Kesehatan

Izin produksi terhadap suatu produk pangan merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi sebelum produk pangan tersebut beredar di masyarakat yang dijelaskan dalam Keputusan Kepala BPOM No. HK. 00.05.5.1640 tahun 2003 tentang Pedoman Tata Cara Penyelenggaraan Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, Gizi dan Pangan Pasal 43 ayat (2). Walaupun aturan tentang izin produksi produk pangan Industri Rumah Tangga mensyaratkan agar sebelum diedarkan setiap produk pangan harus didaftarkan guna mendapatkan izin produksi, pada kenyataannya masih banyak dijumpai beredarnya produk pangan hasil olahan Industri Rumah Tangga yang beredar tanpa izin produksi.
Tanggung jawab Pemerintah dalam melakukan pengawasan penyelenggaraan perlindungan konsumen menjadi bagian yang penting dalam upaya membangun kegiatan usaha yang positif dan dinamis, sehingga hak-hak konsumen tetap bisa diperhatikan oleh para pelaku usaha.
Proses pengawasan harus dilakukan oleh Dinas Kesehatan dengan mendatangi langsung lokasi Industri Rumah Tangga tersebut dan memeriksa sarana produksi serta lokasi di sekitar tempat produksi produk pangan Industri Rumah Tangga. Upaya pengendalian produksi, distribusi dan peredaran produk pangan Industri Rumah Tangga dilakukan dengan cara menghimbau kepada setiap supermarket atau toko-toko tempat penjualan produk pangan Industri Rumah Tangga agar tidak menerima produk-produk pangan Industri Rumah Tangga yang tidak memiliki izin dari Dinas Kesehatan. Himbauan tersebut juga disampaikan kepada setiap kepala sekolah agar memeriksa setiap jajanan-jajanan yang terdapat di wilayahnya






BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN

Bertitik tolak dari pembahasan terdahulu dan mengacu pada rumusan masalah yang telah ditetapkan, maka dapat penulis simpulkan bahwa :
1)      Bentuk pertanggungjawaban produsen makanan khususnya Industri Rumah Tangga (Home Industry) yang tidak memiliki izin dari Dinas Kesehatan terhadap konsumen atas produknya yang beredar di pasaran, bahwa berdasarkan wawancara penulis bahwa produsen hanya terbatas pada lebih memperhatikan lagi bahan baku yang digunakan dalam mengolah produknya. Apabila terjadi kerugian terhadap konsumen baik itu kerugian materi maupun fisik maka upaya yang biasa ditempuh oleh produsen yaitu selain menarik produknya yang beredar di pasaran maka produsen juga memberikan ganti kerugian sesuai dengan apa yang diinginkan oleh konsumen. Adapun ketentuan yang lebih mengikat bahwa produsen harus bertanggung jawab, berdasarkan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen Pasal 19 ayat (1) menyatakan bahwa yaitu pelaku usaha bertanggung jawab dalam hal memberikan ganti kerugian kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau di perdagangkan. Selanjutnya berdasarkan Pasal 19 ayat (2) Ganti kerugian yang dimaksud yaitu berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan atau jasa yang sejenis dan setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan atau pemberian santun sesuai dengan kerugian yang di derita oleh konsumen.
2)      Pertanggungjawaban pemerintah terhadap konsumen apabila ada yang mengalami kerugian akibat mengonsumsi produk pangan olahan Industri Rumah Tangga yang tidak memiliki izin hanya terbatas melakukan serangkaian penyelidikan untuk mengetahui penyebab kerugian dan menanggung biaya pemeriksaan sampel produk makanan yang telah dikonsumsi oleh konsumen di laboratorium. Melakukan pembinaan kepada konsumen melalui media massa tentang produk pangan olahan Industri Rumah Tangga (Home Industry) yang aman dan layak untuk dikonsumsi. Memberikan sanksi sosial dan pembinaan kepada produsen yang produknya terbukti menyebabkan kerugian. Melakukan mediasi antara produsen dengan konsumen yang telah merasa dirugikan.


B.     SARAN

Agar tercipta rasa aman dalam mengonsumsi produk pangan hasil olahan Industri Rumah Tangga (home industry), maka semua pihak mulai dari pihak pelaku usaha, konsumen, serta pemerintah melalui aparatnya dalam hal ini BBPOM dan Dinas Kesehatan harus memiliki kesadaran yang tinggi. Kesadaran konsumen melaporkan ke BBPOM jika mendapatkan produk pangan hasil olahan Industri Rumah Tangga (home industry) yang tidak memiliki izin dapat membantu pihak BBPOM dan Dinas Kesehatan dalam mencegah produk pangan hasil olahan Industri Rumah Tangga (home industry) yang tidak memiliki izin beredar di masyarakat. Kesadaran serta tanggung jawab juga perlu dikembangkan oleh pihak produsen Industri Rumah Tangga (home industry) agar menyadari bahwa dalam memproduksi suatu produk pangan khususnya produk pangan hasil olahan Industri Rumah Tangga (home industry) produsen sebaiknya bertanggung jawab tidak hanya menyangkut keamanan produknya ketika dikonsumsi oleh konsumen, tetapi juga harus bertanggung jawab atas semua akibat yang disebabkan oleh proses produksi yang dapat merugikan manusia dan lingkungan sekitarnya. Untuk menghindari adanya kerugian yang diderita oleh konsumen baik itu materi maupun fisik, sebaiknya produsen berhati-hati dalam setiap proses produksi agar kerugian yang ditimbulkan oleh konsumen ketika mengonsumsi produk pangan tersebut dapat dihindari sedini mungkin.




DAFTAR PUSTAKA

1)      Kristiyanti, Celina Tri Siwi. 2009. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Sinar Grafika.
2)      Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo. 2008. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
3)      Shofie, Yusuf. 2008. Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
4)      Shofie, Yusuf. 2002. Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi. Jakarta: Ghalia Indonesia.
5)      Siahaan, N.H.T. 2005. Hukum Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk. Jakarta: Panta Rei.
6)      Sidabalok, Janus. 2010. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
7)      Siswosoediro, Henry S. 2007. Mengurus Surat-Surat Perijinan. Jakarta: Visimedia.
8)      Susanto, Happy. 2008. Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan. Jakarta: Visimedia.
9)      Syawali, Husni dan Neni Sri Imaniyati. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung: Mandar Maju.
10)  Sudaryatmo. 1999. Hukum dan Advokasi Konsumen. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
11)  Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani. 2003. Hukum tentang Perlindungan Konsumen. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.



sumber Lain
1)      http://www.bisnis-KTI.com, diakses 29 maret 2011
2)      http://www.wikipedia.org/wiki/Badan Pengawas Obat dan Makanan, diakses 31 maret 2011


[1] Janus Sidabalok.. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung  2010: Citra Aditya Bakti. Hal 50
[2] Ahmad miru & Sutarmin yodo.. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: 2008 RajaGrafindo Persada.Hal 65
[3] Happy susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan. Jakarta:  2008 Visimedia Hal 4
[4] Celina Tri Siwi kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta:2009  Sinar Grafika. Hal 170
[5] Ahmad miru & Sutarmin yodo.. Hukum Perlindungan Konsumen.Op Cit.Hal 1
[6] Ibid, hal 5
[7] Ahmad miru & Sutarmin yodo.. Hukum Perlindungan Konsumen. Op.Cit .Hal 126
[8] Janus Sidabalok.. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Op.Cit. Hal 159
[9] Happy susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan. Op.Cit  Hal 16
[10] N.H.T Siahaan,Hukum Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk. Jakarta:2005 Panta Rei, Hal.12
[11] Celina Tri Siwi kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta:2009 Sinar Grafika. Hal .34
[12] Celina Tri Siwi kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen. Op Cit. Hal 35
[13] Guanawan Widjaja dan Ahmad Yani., Hukum tentang Perlindungan Konsumen. Jakarta: 2003, Gramedia Pustaka Utama, Hal 29-30
[14]Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan. Op cit .hal 34

Tidak ada komentar:

Posting Komentar